Susila Dalam Agama Hindu
Susila dalam Agama Hindu merupakan
kerangka dasar yg kedua . susiala adalah istilah lain dari etika dan moral .
etika dan moral merupakan dua kata yang di pergunakan silih berganti untuk
maksud yg sama . berdasarkan uraian di atas dapat kita pahami bahwa etika
merupakan ajaran prilaku atau perbuatan yang bersifat sitematis tentang
prilaku (karma). Apa yang di anggap sebagai perbuatan baik (subha karma / daiwi
sampad ) dan perbuatan yang tidak baik ( asubha karma/Asuri sampad).pengertian
susila dapat di jelaskan sebagai berikut :
A.
Susila atau etika adalah upaya mencari kebenran . sebagai filsafat ia mencari
informasi yang sedalam-dalamnya secara sitematis tentang kebenran yang bersifat
absolut maupun relative .
B. Susila atau etika adalah upaya untuk megadakan penyelidikan atau megkaji
kebaikan manusia , sebagai bagaimana seharunya hidupdan bertindak di dunia ini
agar hidup menjadi bermakana.
C. Susila atau etika merupakan upaya (karma) manusia mempergunakan keterampilan
fisiknya (angga/raga)dan cerdas rohani (suksma sarira) manusia terdiri
atas pikiran (manas), kecerdasan (buddhi) .dan kesadaran murni (atman) yang
dapat berfungsi sebagai saranauntuk memecahkan berbagai masalah tentang
bagaimana manusia hidup dan berbbuat baik (saputra). Kitap sarasamuscaya
menyebutkan sebagai berikut : "manusah sarvabhutesu varttate vaiu
saubhasuhe,asubhasue samasvitam subhesveva vakyaret. Ri sakiwang srwa
bhuta,ikingjanma wwang juga wenang gumayana kening subha –subhakarma
iking janma, kuneng akena ring subhakarna juga ikang asubha karma
phalaning dadi wwang"
(sarasamuscaya, 2)
Artinya :
Dari sedemikian banyaknya semua
mahkluk yang hidup , yang di lahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat
berbuat perbuatan yang baik –buruk itu adapun untuk peleburan perbuatan buruk
ke dalam perbuatan yang baik juga manfaatnya menjadi manusia .
Demikianlah manfaat hidup menjadi
manusia sebagai di sebutkan dalam kitab suci Weda. manusia hendaknya selalu
mengupayakan prilaku yang baik dengan sesamanya memperlakukan orang dengan baik
sesungguhnaya adalah sama dengan memperlakukan diri sendiri dengan baik juga
(tatwam asi) prilaku seperti itu patut di upayakan harus di lestarikan
dalam setiap tindakan kita sebagai manusia setiap induvidu hendaknya berfikir
dan bersifat professional menurut guna dan karma . inilah cermin dari sosok
orang yg telah mengamalkan ajaran catur warna .
2.2.Hubungan Susila Dan Sad Atatayi
Pada adasarnya setiap kelahiran
manusia kea lam ini adalah baik . hal ini terbukti dengan di berikan nya
berbagai macam predikat kepada manusia . sebagai manusia sebagai mahkluk
inidividu, manusia sebagai mahkluk berfikir . sebagai manusia mahkluk relegius
, dan manusia sebagai mahkluk sosial , serta masih bnyk lagi sebutan yang
lainya .
Sebagai akibat dari kemampuan
pikirnya , manusia dapat meninggkatkan hidup dari kehidupan nya yang
kurang baik menjadi lebih baik . meskipun demikian , bukan berarti manusia akan
terleppas dari perbuatan –perbuatan yang tidak baik .dalam hindup dan
kehidupan ini manusia di hadapkan pada factor kemungkinan untuk memilih
yang kurang baik agar manusia tak terjerumus dan hanyut derita akibat dari tak
terkendali kama (keinginan) untuk merugikan orang lain , maka ia harus belajar
dan di ajarkan kebijaksanaan ,tuntunan berfikir , ketetapan hati
dan sikap sikap baik (Dharma) .dengan demikian manusia akan terhindar untuk
melakukan sad atatayi yang memang harus di hindari .
- A. Pengertian sad atatayi
Sad berarti enam dan atatyi bererti
pembunuhan jadi sad atatayi adalah berarti enam macam pembunuhan yang amat
kejam/keji yang patut di hindari dan tidak boloeh
dilakukan terhadapp siapa pun.
Keenam pembunuhan yang di maksud , yaitu pembunuhan secara sadis .
perbuatan semacam ini termasuk Himsa Karma . karena itu tergolong dosa memang
betul-betul di larang oleh sastra agama .
- B. Bagian – bagian sad atatayi
- Agenda artinya membakar
- Wisada artinya meracun
- Attharwa artinya ilmu hitam
- Sastraghana artinya mengamuk
- Drathi artinya memperkosa
- Raja pisuna artinya memfitnah
- C. Uraian Dari Sad Atatayi
- Aginda,
yaitu membakar milik orang lain /memusnahkan milik orang lain dan juga
dapat di artikan mengadu domba oranglain shingga timbul perselisihan
yang mengakibatkan orang menjadi menderita , ini perilaku atau perbuatan
yang terlarang .
- Wisada
, yaitu meracuni /menyakiti orang lain . perbuatan meracun baik niskala
maupun sekala . perbuatan ini merupakan perbuatan dosa . hal ini
mengingkari hakikat hidup dan kehidupan dan kehidupan di dalam
bermasyarakat di dunia fana ini bagi orang yg melakukan
/melaksanakan perbuatan seperti ini sudah di sediakan tempat , yaitu
neraka oleh Sang Hyang Widhi Wasa .
- Atharawa,
yaitu melakukan/menjalankan ilmu hitam (black magic ) atau guna
–guna . perbuatan ini merupakan perbuatan dosa serta di jauhi orang
yang suka yang terlarang .menjalankan ilmu hitam atau guna-guna hanya
bersifat senang semantara semasa hidup ini dapat membuat orang lain
menjadi mendertia dan sesungghunya pula dirinya akan mendertita pula
seperti yang di deritakan orang lain .
- Sastraghana
, yaitu mengamuk atau merampok sehingga menimbulkan kerugian bagi
orang lain . mengamuk yg di maksudkan adalah bias-bilangkan nyawa orang
lain dan merampok menimbulkan penderitaan karena kerugian yang di deritanya
. perbuatan semacam ini amat bertentangan dengan sastra agama ,
untuk mencapai ketenangan maupun kedamaian , maka perbuatan
sastraghana amat di larang dan berdosa besar serta terkutuk .
- Drathi Karma,
yaitu memperkosa kehormatan wanita . perbuatan drathi karma
sangt bertentangan dengan konsep ajaran agama hindu . di ajaran
agama hindu memiliki konsep tat twam asi. Karena itu ,perbuatan
drathi karma mengingkari kemerdekaan orang lain.
- Raja pisuna
, yaitu memfitnah atau menghasut dan mengadu domb a seseorang dengan
orang lain. Perbuatan memfitnah sangt lah keji karena membuat orang
lain mederita. mungkin orang yang memfitnah tidak tw sebab apa dirinya di
perlakukan kurang baik. memfitnah hendaknya di buang dari alam pikiran
kita. maka di katakana memfitnah lebih kejam dari pembunuhan.
2.3.Susila
Susila berasal dari bahasa
Sansakerta, su dan sila. Su; baik dan bagus, sedangkan sila; dasar, prinsip,
peraturan hidup atau norma. Dengan demikian, susila mengacu pada upaya
membimbing, memandu, mengarahkan, membiasakan masyarakat hidup yang sesuai
dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Demi tegaknya
kebenaran dan keadilan di dunia ini manusia yang ber-Susila atau bertingkah
laku yang baik sangat diharapkan. Manusia yang susila adalah penyelamat dunia
(Tri Buana) dengan segala isinya. Apapun yang dilakukan oleh orang Susila tentu
akan tercapai. Sebab, Sang Hyang Widhi Wasa akan selalu menyertainya.
Orang-orang di sekitarnya selalu hormat dan menghargainya. Kalau saja di dunia
ini tidak ada orang yang Susila maka sudah tentu dunia ini akan hancur dilanda
oleh ke-Dursilaan atau kejahatan. Sebab, Susila merupakan alat untuk menjaga
Dharma.
Pengertian Susila menurut pandangan
Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis
antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas
korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.
Pada hakekatnya hanya dari adanya
pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan
perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain adalah satunya pikiran,
perkataan, dan perbuatan
2.4. Hubungan Etika, Moral dan
Susila Dengan Ahklak
Dari uraian di atas, dapat
dijelaskan bahwa etika, moral dan susila berasal dari produk rasio dan budaya
masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi
kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yaitu
ketentuan yang berdasarkan petunjuk Weda dan hadits. Dengan kata lain etika,
moral dan susila berasa dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
2.4.1. Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani;
ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Etika dalam arti yang khusus
mencakup empat hal sebagai berikut;
- a. Pertama,dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berupaya
membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
- b. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal
pikiran atau filsafat.
- c. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai
penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh
manusia, yaitu apakah perbuatan itu dinilai baik atau buruk.
Keempat, dilihat dari segi sifatnya
etika bersifat relatif yang dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
2.4.2. MORAL
Moral berasal dari bahasa Latin;
mores, yang berarti kebiasaan. Dalam makna istiah adalah suatu yang digunakan
untuk menentukan batas-batas dari sifat perangai, kehendak, pendapat atau
perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
2.4.3.
SUSILA
Aspek-aspek inti agama hindu terdiri
dari tiga bagian yang di sebut tri kerangka agama hindu yaitu tatwa (filsafat),
susila (etika) ,upacara (ritual) . ketiga aspek ini merupakan satu jalinan yang
sangat erat hubungannya satu dengan yang lain saling mengisi . jika
diibiratkan seperti sebutir telur upacara adalah kulit telor susila
adalah sebutir telor , dan tattwa adalah kuning telur . bagi salah
satu bagian ini tidak ada maka telur tersebut akan rusak.
2.4.4.
AHKLAK
Dalam kehidupan, akhlak memegang
peranan yang sangat besar. Akhlak berhubungan erat dengan setiap perbuatan
manusia yang diukur dengan wahyu apakah suatu perbuatan dapat dikatakan baik
atau buruk. Dalam akhlak ada nilai dasar apakah perbuatan itu baik atau buruk.
Akhlak mengandung pengertian perbuatan yang timbul melalui sebuah ikhtiar dan
kesengajaan. Perbuatan itu meski diketahui waktu ia melakukan apa yang ia
perbuat. Akhlak pada dasarnya menjelaskan kata antara baik dan buruk. Dalam
akhlak juga menerangkan tujuan yang hendak dicapai dari perbuatan manusia.
Selanjutnya akhlak juga membicarakan tentang jalan ataupun proses yang dilalui
oleh manusia untuk mencapai tujuannya.
Dalam kehidupan yang serba modern
sekarang tentu banyak kepentingan yang ada dalam anggota masyarakat. Mewujudkan
masyarakat yang harmonis memerlukan aturan-aturan yang bersifat universal yang
dapat dipertanggungjawabkan secara Ilahi dan kemanusiaan. Dengan kata lain,
aturan tersebut haruslah sesuai dengan tuntutan zaman yang ada dan sesuai
dengan akidah agama. Di sinilah letak urgensi pendidikan akhlak yaitu dalam
merumuskan pendidikan agar selalu berada dalam jalur yang benar dan selalu
dalam orientasi yang lebih baik. Selanjutnya dalam masa yang serba modern ini
maka urgensi pendidikan akhlak yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan
masyarakat yang madani.
Masyarakat modern tentunya mempunyai
tantangan yang lebih kompleks, untuk itulah pendidikan akhlak sangat penting
dan diharapkan dapat menjadi sarana pembentukan kepribadian manusia. Dengan
demikian urgensi pertama dan utama pendidikan akhlak adalah membentuk pribadi
yang berakhlak. Pembentukan pribadi yang berakhlak tidaklah terlepas dari
tujuan pendidikan Islam. Pendidikan Islam itu sendiri bertujuan membentuk insan
kamil yang tentunya sifat dan sikapnya selalu mencerminkan pribadi muslim.
Pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mencakup aspek jasmaniah dan
ruhaniah. Keduanya merupakan target pembentukan pribadi yang berakhlak.
Pengaruh modernisasi dan
industrialisasi sebagai dampak dari era globalisasi diharapkan dapat
dinetralisasi dengan tetap mempertahankan akhlakul karimah dalam kehidupan
keluarga dan lingkungan masyarakat. Pendidikan akhlak dalam era globalisasi
sangatlah menentukan. Di saat pendidikan sekarang ini yang semakin sekuler dan
materialis sehingga nilai-nilai akhlak dan moralitas bermasyarakat dalam erosi
yang sangat besar. Manusia cenderung hanya mengejar tuntutan materi saja dan
hal ini membawa manusia pada situasi yang dilematis, manusia telah kehilangan
nilai kemanusiaan. Manusia telah menjadi mesin kehidupan yang harganya bisa
diukur dengan uang atau benda lainnya. Di sini terlihat urgensi pendidikan
akhlak agar manusia tidak kehilangan kemanusiaannya dan selanjutnya terwujud
sebuah masyarakat yang madani.
2.5.
TRI GUNA DAN DASA MALA
Ajaran agama Hindu merupakan ajaran
yang bersifat komprehensif, dalam arti tidak saja mengurusi/mengajarkan
bagaimana memuja Ida Sang Hyang Widhi, tetapi juga berkaitan dengan segala
aspek kehidupan manusia. Inti ajaran agama Hindu terdiri dari tiga bagian yang
disebut Tri Kerangka agama Hindu. Tri Kerangka agama Hindu tersebut terdiri
dari tattwa (filsafat), susila (etika) dan ucapan (ritual). Ketiga aspek ini
merupakan satu jalinan yang sangat erat hubungannya dan satu dengan yang lain
saling isi-mengisi. Jika diibaratkan seperti sebutir telur, upacara adalah
kulit telur, susila adalah putih telur, dan tattwa adalah kuning telur. Bila
salah satu bagian ini tidak ada atau rusak maka telur tersebut akan rusak.
Begitu juga pengetahuan/tatwa yang tinggi jika tidak diimbangi oleh etika yang
memadai maka hidup ini tidak akan harmonis.
Manusia merupakan makhluk sosial
yang tidak bisa hidup sendiri, selalu ketergantungan satu dengan yang lainnya.
Dalam hidup bersama ini diperlukan adanya suatu peraturan-peraturan untuk
mengatur kehidupan ini. Peraturan atau pedoman dalam bertingkah laku yang baik
disebut tata susila.
Kata susila berasal dari bahasa
Sansekerta yang teridi dari kata “Su” artinya baik. Dan “Sila” artinya tingkah
laku. Jadi susila adalah tingkah laku yang baik. Di dalam kitab Wraspati
tattwa, 26 dinyatakan mengenai arti kata sila dalam kalimat : “Sila
ngaranya angraksa acara rahayu”. Kata susila mengandung pengertian
perbuatan baik atau tingkah laku yang baik.
Agama adalah dasar tata susila yang
kokoh dan kekal, ibarat bangunan jika landasan atau pondasinya tidak kokoh maka
niscaya bangunan tersebut akan mudah roboh. Jika tata susila sudah dibangun
atas dasar agama sebagai landasannya yang kokoh dan kekal, maka tata susila itu
akan mendalam dan meresap dalam pribadi seseorang. Ajaran tata susila yang
berdasarkan ajaran agama, seperti tertera dalam kitab-kitab Upanisad atau
Tattwa, menyatakan suatu dalil yang mengakui tunggalnya Jiwatman (roh)
semua makhul dengan Tuhan (Paramatma). Dengan adanya ini maka kita akan
merasakan suatu renungan kebijaksanaan yang mendalam, bahwa kita sebenarnya
adalah satu dan sama dengan makhluk lainnya.
Sang Hyang Widhi Wasa adalah tunggal
dan berada di mana-mana yang menjadi dasar hidup ciptaan-Nya yang terpisah-pisah
dan beraneka ragam macamnya. Begitulah Jiwatman dalam semua makhluk terpisah
satu dengan yang lainnya dengan bentuk badan yang berbeda-beda, yang pada
dasarnya dihidupkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Berdasarkan tunggalnya Ida
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) dengan Jiwatman, maka berarti pula tunggalnya
antara Jiwatman seseorang dengan Jiwatman orang lain.
Jadi prinsip dasar dari susila Hindu
adalah adanya satu Atman yang meresapi segalanya. Ia merupakan roh terdalam
dari semua makhluk, yang merupakan kesadaran murni. Bila kamu merugikan
tetanggamu sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri. Bila kamu merungikan
makhluk hidup lainnya, sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri, karena segenap
alam tiada lain adalah dirimu sendiri. Inilah ajaran susila Hindu yang
merupakan dasar kebenaran methapisik yang mendasari segala kode etik Hindu.
Atman atau sang diri adalah satu. Satu kehidupan bergetar dalam semua makhluk.
Dari semua makhluk ciptaan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk
hanyalah manusia. Karena di antara makhluk hidup, manusia merupakan makhluk
paling istimewa, makhluk yang paling sempurna karena memiliki Tri Pramana
(bayu, sabda, idep). Dengan idep manusia mampu membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk serta mampu melebur perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik.
Menyadari hal tersebut maka janganlah sia-siakan kesempatan lahir sebagai
manusia untuk berbuat baik (susila), agar tujuan kita lahir ke dunia bisa
tercapai. Dalam kitab Sarasamuscaya, sloka 160 disebutkan sebagai berikut :
“Silam pradhanam puruse tadyaseha
pranasyati, na tasya jivitenartho duh silam kinprayojanam, Sila ktikang
pradhana ring dadi wwang, hana prawrtti ning dadi wwang dussila, aparan ta
prayojananika ring hurip, ring wibha, ring kaprajinan, apan wyartha ika kabeh,
yan tan hana silayukti”.
Artinya :
Susila itu adalah yang paling utama,
pada titisan sebagai manusia. Jika ada perilaku titisan sebagai manusia itu
tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan, dengan
kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya jika tidak ada kesusilaan.
Ajaran susila hendaknya terapkan di
dalam kehidupan kita di dunia ini, karena di dunia inilah tempat kita berkarma.
Pembenahan diri sendiri merupakan
prioritas yang utama, di samping pembenahan diri dalam hubungan dengan orang
lain. Kelahiran kita merupakan tangga untuk naik ke sorga. Oleh karena itu,
kesempatan ini kita abdikan untuk meningkatkan diri dalam kebijakan agar tidak
jatuh ke neraca. Untuk dapat meningkatkan diri, manusia harus mampu
meningkatkan sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada dirinya.
Tata susila membina watak manusia
agar menjadi anggota keluarga yang baik, anggota masyarakat yang baik,
anggota/putra bangsa yang berbudi pekerti luhur, berkeperibadian mulia sehingga
mencapai kebahagiaan abadi. Adapun kebahagiaan yang mutlak dan abadi hanya
dapat dinikmati bila roh (Jiwatman) seseorang dapat mencapai kesatuan dengan
Ida Sang Hyang Widhi, karena hanya dengan kesatuan antara Jiwatman dengan Ida
Sang Hyang Widhi itu saja yang dapat memberi kebahagiaan yang diliputi oleh
perasaan tenang dan tentram yang dilukiskan dengan istilah anandha, suka
tanpa wali duka.
Pada dasarnya dalam diri manusia ada
dua kecenderungan, yaitu kecenderungan berbuat baik dan kecenderungan berbuat
buruk. Sri Kresna di dalam kitab Bhagawadgita membagi kecenderungan budhi
manusia menjadi dua bagian, yaitu :
- Daiwi Sampad,
yaitu sifat-sifat kedewaan.
- Asuri Sampad,
yaitu sifat-sifat keraksasaan.
Daiwi Sampad bermaksud menuntun
perasaan manusia ke arah keselarasan antara sesama manusia. Sifat-sifat ini
perlu dibina, seperti diungkapkan di dalam kitab Bhagawadgita, XVI.1, 3 dan 5
yang berbunyi sebagai berikut :
“Abhayam sattwassamocuddhir
jnanayogawyasvathitih danamdamaca yadnas ca swadhyayas tapa arjawam”.
Artinya :
Tidak mengenal takut, berjiwa murni,
giat untuk mencapai kebijaksanaan dan yoga, berderma, menguasai indria,
berkorban, mempelajari ajaran-ajaran kitab suci, taat berpantang dan jujur.
“Tejahksama dhrtih saucam adhro na
‘timanita Bhawanti sampadam daiwin abhijatasya bharata”.
Artinya :
Kuat, suka memaafkan, ketawakalan,
kesucian, tidak membenci, bebas rasa kesombongan, ini tertolong pada orang yang
lahir dengan sifat-sifat dewata, oh Arjuna.
“Daiwi Sampad wimoksaya nibandaya
suri mata ma sucah sampadan daiwim abhijato si pandawa.
Artinya :
Kelahiran yang bersifat Ketuhanan
dikatan memimpin ke arah moksa dan yang bersifat setan ke arah Ikatan. Jangan
bersedh hati, oh pandawa (Arjuna), engkau dilahirkan dengan sifat-sifat dewata.
Kemudian mengenal sifat-sifat Asuri
Sampad (sifat-sifat yang buruk) yang harus kita hindari dijelaskan dalam kitab
Bhagawadgita, XVI.4, 17 dan 21 yang berbunyi sebagai berikut :
“Tambho darpo bhimanas krodah
parusyam eva ca Ajnanam cabhijatasya partha sampadan asur.
(Bhawadgita, XVI.4)
Artinya :
Berpura-pura, angkuh, membanggakan
diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini adalah tergolong yang dilahirkan dengan
sifat-sifat raksasa (Asuri Sampad),oh Arjuna.
“Atma sambhawatah stabdha dhana mana
madanwitah Jayabnte namayajnais te dambhena widhipurvakam.”
(Bhawadgita, XVI.17)
Artinya :
Menganggap dirinya yang terpenting,
keras kepala, penuh dengan kesombongan, gila akan kekayaan, bersifat pura-pura,
semuanya ini adalah bertentangan dengan ajaran kitab suci.
“Trivihdam narakasyedam dvaram
nasanam atmanah Kamah krodhas tatha lobhas tasmad etat trayam trajett.”
(Bhawadgita, XVI.21)
Artinya :
Ada tiga gerbang pintu neraka yang
meruntuhkan Atma, yaitu nafsu, sifat pemarah dan loba. Oleh karena itu, orang
harus menghindari ketiganya itu.
Oleh karena itu, setiap perbuatan
baik dan tidak baik yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, berarti
juga berbuat baik atau tidak baik kepada dirinya sendiri. Maka dari itu timbul
suatu ajaran yang disebut Tat Twam Asi. Tat Twam Asi
berarti itu adalah engkau (Tuan), semua makhluk itu adalah Engkau, Engkaulah
awal mula roh (Jiwatman) dan Sat (Prakerti) semua makhluk. Hamba ini adalah
makhluk yang berasal dari-Mu, oleh karena itu Jiwatmanku dan Prakertiku tunggal
dengan Jiwatman dan Prakerti semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau,
aku adalah Brahman “Aham Brahma Asmi”. Demikianlah terscantum di dalam
kitab Brhadaranyaka Upanisad. Ajaran susila merupakan hal yang sangat penting
di dalam kehidupan kita sebagai manusia agar terwujud hubungan yang harmonis
antara satu dengan yang lainnya. Ajaran susila ini hendaknya diusahakan oleh
setiap manusia.
Demikian harus kita sadari, betapa
pentingnya ajaran tata susila itu kita terapkan. Tata susila pada dasarnya
bertujuan untuk membina hubungan yang selaras / rukun antara seseorang
(Jiwatman) dengan mahluk lainnya, antara masyarakat dengan masyarakat, antara
satu bangsa dengan bangsa lainnya dan antara manusia dengan alam sekitarnya.
Timbullah sifat-sifat Daiwi sampad
dan Asuri sampad pada diri manusia disebabkan oleh beberapa faktor, bisa faktor
intern, bisa dari faktor extern dan bisa juga dari kedua faktor tersebut.
Berkaitan dengan keharmonisan hidup agama Hindu mengarahkan kita untuk
selalu menumbuh kembangkan sifat-sifat Daiwi Sampad.
2.5.1.
TRI GUNA
- A. Pengertian tri guna
Triguna terdiri dari 2 kata
yakni“Tri” yang artinya tiga (3)“Guna” yang artinya sifat Jadi, Triguna artinya
: tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia. Antara sifat yang satu dengan
yang lainnya saling mempengaruhi dan membentuk watak seseorang. Apalagi
diantara ketiga sifat-sifat tersebut terjalin dengan harmonis, maka seseorang
akan dapat mengendalikan pikirannya dengan baik. Akan tetapi, hubungan antara
ketiga sifat itu akan terus bergerak bagaikan roda kereta yang sedang berputar
silih berganti, saling ingin menguasai sifat yang lain, selama manusia hidup.
- B. BAGIAN- BAGIAN TRIGUNA
- Sifat Sattwa atau Sattwam
Sifat sattwa atau sattwam yakni
sifat tenang, suci, bijaksana, cerdas, terang, tentram, waspada, disiplin,
ringan dan sifat-sifat baik lainnya.
Sifat rajah atau rajas yakni sifat
lincah, gesit, goncang, tergesa-gesa bimbang, dinamis, irihati, congkak, kasar,
bengis, panas hati, cepat tersinggung, angkuh dan bernafsu.
Sifat tamah atau tamas yakni sifat
paling tidak sadar, bodoh, gelap, sifat pengantuk, gugup, malas, kumal dan
kadang-kadang suka berbohong.
- Pengaruh Triguna pada Kehidupan Pribadi Seseorang
- Orang yang dikuasai oleh sifat sattwam biasanya
berwatak tenang, waspada, dan berhati yang damai serta welas asih. Kalau
mengambil keputusan akan ditimbang terlebih dahulu secara matang, kemudian
barulah dilaksanakannya. Segala pikiran, perkataan, dan perilakunya
mencerminkan kebijaksanaan dan kebajikan. Seperti tindakan Sang Yudistira
dan Sang Krishna dalam cerita Mahabharata, dan tindakan Sang Rama dan
Wibhisana dalam cerita Ramayana.
- Orang yang dikuasai oleh sifat rajah biasanya selalu
gelisah, keinginannya bergerak cepat, mudah marah dan keras hati. Orangnya
suka pamer, senang terhadap yang memujinya dan benci terhadap yang
merendahkannya. Yang baik pada sifat rajah itu adalah sifat giat bekerja
dan disiplin.
- Orang yang dikuasai sifat tamah biasanya berpikir,
berkata, dan berbuat sangat lamban. Kadang-kadang enggan, malas, suka
tidur, rakus, dan dungu. Besar birahinya, keras keinginannya, serta suka
tidur campur dengan anak dan istrinya.
2.5.2.
DASA MALA
Dalam Kitab Bhagawadgita telah
disebutkan bahwa pada dasarnya kecederungan budhi manusia ada dua jenis yaitu
Daiwa Sampad dan Asuri Sampad. Asuri sampad adalah kecenderungan-kecenderungan
untuk berbuat tidak baik (Asubha Karma). Banyal perilaku yang tidak baik
yang perlu kita hindari, dan bahkan dalam ajaran agama Hindu perbuatan-perbuatan
yang tidak baik digolongkan Adharma dan merupakan musuh dalam diri manusia. Ada
beberapa kelompok musuh di dalam diri manusia yaiti : Tri Mala, Sad Ripu, Sad
Atatayi, Sapta Timira dan Dasa Mala. Dasa Mala adalah sepuluh macam sifat-sifat
yang kotor/tidak baik, yang perlu kita hindari karena tergolong Asubha Karma.
Dasa Mala merupakan sumber dari
kedursilaan, yaitu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan susila, yang
cenderung kepada kejahatan. Semua perbuatan yang bertentangan dengan susila
hendaknya kita hindari dalam hidup ini agar terhindar dari penderitaan. Adapun
pembagian dari Dasa Mala tersebut adalah sebagai berikut :
- Tandri artinya yang malas, suka makan dan tidur saja,
tidak tulus, hanya ingin melakukan kejahatan sikap malas adalah sikap yang
dibenci oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena sikap ini merupakan pintu
penghalang untuk mencapai tujuan hidup. Misi kita hidup ke dunia ini
adalah melakukan kerja. Jika ada orang yang lahir ke dunia ini tidak mau
melakukan pekerjaan (malas) mala sia-sialah dia hidup, ia tidak akan bisa
mencapai Kesempurnaan hidup. Hilangkan sifat bermalas-malas karena
tidak ada tujuan yang dapat dicnapai dengan hanya berdiam diri, bahkan
sifat malas akan makin menjauhkan Atma dengan Paramatma. Oleh karena itu
hilangkanlah sifat malas itu lakukanlah tugas dan kewajiban sehingga kita
bisa mencapai tujuan yang diinginkan.
- Kleda artinya berputus asa, suka menunda dan tidak mau
memahami maskud orang lain. Sifat putus asa, suka menunda-nunda suatu
pekerjaan tergolong sikap yang didominasi oleh sifat-sifat tamas. Orang
yang dalam kehidupannaya lebih banyak dikuasai oleh sifat-sifat tamas akan
menyebabkan Atma jatuh ke alam neraka. Apabila sifat tamas ini lebih
unggul dari sattwam dari rajas, maka Atma akan menjelma menjadi binatang
dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena kleda ini merupakan penghapang untuk
maju/untuk mencapai Kesempurnaan hidup, maka kita harus mengendalikannya.
Jangan cepat terputus asa dalam melakukan pekerjaan, jangan suka
menunda-nuda waktu untuk melakukan tugas dna kewajiban karena hidup kita
hanya sebentar.
- Leja artinya berpikiran gelap, bernafsu besar dan
gembira melakukan kejahatan. Pikrian paling menentukan kualitas perilaku
manusia dalam kehidupan di dunia ini. Pikirkanlah yang mengatur gerak
sepuluh indria sehingga disebut Raja Indria. Kalai Raja Indria tidak baik
maka indria tidak baik maka indria yang lain pun menjadi tidak baik pula.
Oleh karena itu marilah jaga kesucian pikiran kita jangan sampai ternoda
dan menjadi gelap. Pikiran gelap, pikiran yang dikuasai oleh gejolak hawa
nafsu sangat merugikan diri kita maupun orang lmain. Upayakan untuk
menjaga pikiran agar tidak gelap/tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Ada tiga
cara untuk menjaga kesucian pikiran yaitu :
- Si tan engin adengkya ri drbyaning len, artinya tidak
menginginkan milik orang lain.
- Si tan krodha ring sarwa sattwa, artinya tidak
membenci semua mahluk.
- Si mamituha ring haning karmaphala, artinya orang yang
amat yakin pada kebenaran hukum karmaphala.
- 1. Kitula artinya menyakiti orang lain, pemabuk dan peniru
Menyakiti dan membunuh mahluk lain,
lebih-lebih manusia merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama.
Kutila juga berarti pemabuk. Orang yang suka mabuk maka pikirannya akan menjadi
gelap. Pikiran yang gelap akan membuat orang tersebut melakukan hal-hal yang
bersifat negatif termasuk menyakiti orang lain, menipu dan sebagainua. Di dalam
pergaulan ini akan membawa pahala buruk baik pada kehidupan sekarang maupun
pada kehidupan yang akan datang. Oleh sebab itu marilah kita ubah himsa karma
menjadi ahimsa karma. Ahimsa (tanpa kekerasan) berarti menghilangkan yang
menyebabkan mahluk lain menderita, agar kehidupan kita menjadi tenang, tentram
dan bahagia.
- Kubaka artinya
pemarah, suka mencari-cari kesalahan orang lain, berkata sembarangan dan
keras kepala. Bila kita emosi atau marah, kita mengeluarkan cairan
adrenalin dalam darah kita. Ini memiliki pengaruh penurunan kekebalan pada
badan kita sehingga kita akan menjadi sakot. Sebaliknya bila kita dipenuhi
dengan kasih sayang dan kedamaian dalam pikiran, maka kita akan
mengeluarkan cairan endorfin yang dapat menambah sistem kekebala tubuh
sehingga dapat mencegah penyakit. Kita harus mengatasi kemarahan dan
kebencian yang ada dalam diri kita dengan mengendalikan emosi sehingga
kedamaian hidup dapat tercapai.
- Metraya adalah
suka berkata menyakiti hati, sombong, irihati dan suka menggoda istri
orang lain. Perkataan yang diucapkan dengan maksud jahat akan dapat
menyakiti orang lain bahkan bisa menyebabkan kematian baik kepada orang
lain maupun kepada diri sendiri (Wasita nimittanta pati kepangguh). Oleh
sebab itu martilah kendalikan kata-kata kita agar terdengar manis dan
mengejutkan, lemah-lembut, ospan, sehingga dapat menyenangkan orang lain
dan diri sendiri (Wasita nimittanta manemu laksmi. Ada empat macam
pengendalian kata-kata yaitu :
- Tidak suka mencaci maki
- Tidak berkata kasar pada orang lain
- Tidak memfitnah
- Tidak ingkar janji (tidak berbohong)
- Megara
artinya berbuat jahat, berkata manis tetapi pamrih
Perbuatan jahat tergolong asubha
karma dan perbuatan ini akan merupakan penghalang untuk mencapai tujuan
rohani.
Ada tiga macam pengendalian
perbuatan agar tercapai tujuan keharmonisan, yaitu :
- Tidak menyiksa/membunuh mahluk lain
- Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda orang
lain (tidak mencari)
- Tidak berzina
- Ragastri
artinya bernafsu dan suka memperkosa
Ragasti merupakan sifat-sifat yang
bertentangan dengan ajaran agama. Sifat-sifat seperti itu sifat-sifat asuri
sempat/sifat-sifat keraksasaan. Memperkosa kehormatan orang lain adalah
perbuatan terkutuk dan hina. Sifat-sifat suka memperkosa harus dihindari untuk
menjaga agar tidak terjadi kemerosotan moral. Jika ragastri dibiarkan maka akan
menambah banyak terjadi perbuatan tuna susila. Untuk melenyapkan sifat-sifat
itu kita hendaknya berusaha untuk mengendalikan dan menghindarinya, serta
mengisi diri dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan bisa menuntut jiwa
bersatu dengan Ida snag Hyang Widhi Wasa.
- Bhaksa Bhuana
artinya suka menyakiti orang lain, penipu, dan hidup berpoya-poya.
Berpoya-poya berarti mempergunakan
harta melebihi batas normal. Hal ini tidak baik dan melanggar dharma, yang
dapat berakibat tidak baik pula. Sering kita lihat di masyarakat , bahwa
kekayaan yang berlimpah jika penggunaannya tidak didasari oleh dharma pada
akhirnya justru menyebabkan orang akan masuk neraka, seperti mabuk, mencari
wanita penghibur dan sebagainya, selain menuntun budi pekerti kita berpla hidup
sederhana akan bisa juga meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baik lahir
maupun batin.
- Kimharu artinya
penipu dan pencuri terhadap siapa saja tidak pandang bulu, pendengki dan
irihari. Sifat dengki dari iri hati merupakan salah satu sifat yang kurang
baik (Asubha Karma). Sifat Ini patut dihilangkan dari diri seseorang itu.
Bahkan saking kuatnya sifat dengki dan iri hati bercokol pada diri
seseorang, diperlukan upaya yang kuat pula untuk mengalahkannaya. Karena
itu dia katakana sebagai salah satu musuh dalam diri manusia out. Ingat
Sadi Ripu (musuh yang enam jumlahnya dalam diri manusia itu, yang patut
dikalahkan yaitu, Kama, Loba Krodha, Mada, moha dan Matsarya). Matsarya
adakah sifat dengki dan iri hati juga termasuk salah satu sifat kurang
simpatik tetapi juga kurang baik. Bisa juga tidak etis. Sifat dengki dan iri
hati juga termasuk salah satu sifat yang kotor dari sepuluh macam sifat
kotor (Dasa Mala) lainnya yang perlu kita kendalikan agar tercapai
kesucian diri serta dapat bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Demikianlah sepuluh yang menyebabkan
manusia tersesat dan jatuh ke neraka. Sadarilah hal tersebut dan dihindari Dasa
Mala itu sehingga tujuan kita untuk mewujudkan meoksartham jagadhita yang ca
iti dharma dapat terwujud. Adapun caranya sangat sederhana, yaitu dengan
berbuat baik, kurnagi keterikatan terhadap benda-benda duniawai, tumbuhan rasa
kasih sayang kepada sesama serta tidak mementingkan diri sendiri.
Di zaman kaliyuga ini kelihatan Dasa
Mala tumbuh dengan suburnya di hati manusia. Hal ini bisa kita lihat dalam
masyarakat begitu banyaknya kejahatan-kejahatan yang terjadi. Tindak kejahatan
terjadi akibat dari sangat kurangnya pengendalian diri, keterikatan terhadap
benda-benda duniawi yang begitu besar sehingga sering tanpa Disadari
merugikan orang lain. Orang banyak mencari popularitas dengan menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan, seperti kasus pengeboman di beberapa
daerah di Indonesia. Para terdakwa dengan penuh senyum tawa bangga dapat
melakukan perbuatan tersebut dan sedikitpun tidak memeprkihatkan rasa
penyesalan atas peristiwa yang menelan ratusan korban jiwa. Belum genap setahun
tragedy bom bali, terjadi peristiwa yang menggegerkan kota Jakatta dengan
terjadi bom di Hotel JW Mariot Jakarta, pada tanggal 5 Agustus 2003. Ini
menunjukkan bahwa orang seperti itu sudah diliputi oleh Dasa Mala
terutama Leja (pikiran gelap, bernafsu besar dan gembira melakukan kejahatan).
Di era reformasi ini, orang mulai
bebas berbicara, sering berkata sembarangan, saling mencari maki, memfitnah
yang dapat menimbulkan akibat yang fatal, seperti rumah dibakar dan terbunuhnya
orang lain. Tidak jarang ada pula orang yang berkata manis namun hatinya
sepahit empedu. Apa yang dikatakan bohong belaka. Kata manis yang
diucapkan hanyalah sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau
kelompok. Akibat dari keterikatan diri terhadap benda-benda duniawi, banyak
orang mulai menghalalkan segala cara untuk memuaskan diri ,seperti melakukan
penipuan, pemerasan, dan perampokan. Hasil kejahatan tersebut tidak jarang
dipergunakan untuk berfoya-foya, mabuk-mabukan, membeli narkotik, dan kemudian
melakukan pemerkosaan.
Pelanggaran hak asasi manusia sering
kali terjadi, orang tidak lagi menghormati orang lain, banyak siswa tidak lagi
hormat kepada guru, dan banyak anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya.
Pelecehan seksual sering terjadi, bahkan orang tua memperkosa anak kandungnya
sendiri. Berita di televise setiap hari menanyangkan orang-orang yang terlibat
tindak criminal, seperti perampokan, pemerkosaan, lebih-lebih yang terlibat
perdagangan narkotik yang sulit diselesaikan seperti patah satu tumbuh seribu.
Pembunuhan terjadi dimana-mana, sepertinya sudah menjadi pemandangan yang
biasa. HAM sudah tidak dihargai lagi bahkan sering diinjak-injak. Banyak
manusia tidak lagi memikirkan etika, sopan santun, dan tata karma. Di zaman
kali yuga ini artha di agung-agungkan, seolah-olah artha menduduki tingkat
pertama dan merupakan segala-galanya, seperti disebutkan did alam kitab
Nitisastra IV.7 sebagai berikut :
Singih yan tekaning yuganta kali
tanhana lewuha sakeng mahadhana, tan walanguna curu pandita widagha pada
mangayap ing dhacewara, sakwehning inasya san wiku hilang, kulu ratu pada hna
kasyasih, putradewa pita ninda ring bapa si cudra banija, wara wiryapandita”
Artinya :
Sesungguhnya bila zaman kali datang
pada akhir yuga hanya kekayaan yang dihargai. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa
orang yang saleh, orang yang pandai akan mengabdi kepada orang yang kaya. Semua
pelajaran Pendeta yanggaib-gaib dilupakan orang, keluarga-keluarga yang baik
dan raja-raja menjadi hina paa. Anak-anak akan menipu dan mengumpat orang
tuanya, irang hina akan menjadi saudagar, terdapat kemuliaan dan kepandaian.
2.6.
Pengaruh Tri Guna Terhadap Kepribadian Manusia
Tri Guna ini merupakan tiga sifat
yang mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga dapat kita lihat di dunia
ini ada bermacam-macam. Kecenderungan sifat manusia. Ada orang yang
berpenampilan lemah lembut selalu ramah, dan menyenangkan bagi yang
melihat. Namun ada juga orang yang rajin, kreatif serta energik dalam kehidupannya.
Selain hal tersebut di atas tidak jarang juga kita melihat ada orang yang
penampilannya awut-awuran, tidak terururs serta pemalas. Semua penampilan
tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh dari bagian-bagian Tri Guna yang tidak
seimbang.
Beberapa sloka dalam kitab suci yang
memabahas tentang pengaruh Tri Guna terhadap kepribadian manusia adalah sebagai
berikut :
“Yan satwawika ikang citta, ya
hetuning atma pamunggihaken kamoksan, apan ya nirmala, dumeh ya gumawayaken
rasaning agama lawan wekas ning guru
(Wrghaspati tattwa, 20)
Artinya :
Apabila sattwa citta itu, Itulah
Atma menemukan kamoksaan, atau kelepasan oleh karena itu ia suci, menyebabkan
ia melaksanakan ajaran agama dan petuah guru.
Yapwan pada gong nikang sattwa lawan
rajah, yeka matangnyan mahyun mugawaya dhama denya, kedadi pwakang dharma denyu
kalih, ya ta matangnyun mudih ring swarga, apan ikang sattwa mahyun ing gawe
hayu, ikang rajah manglakwaken”
(Wgraspati tatwa, 20)
Artinya :
Apabila sama besarnya anatara
sattwam dan rajah, itulah menyebabkan ingin mengamalkan dharma olehnya,
berhasilah dharma itu olehnya berdua, itulah menyebabkan pulang ke sorga,
sebab sattwam ingin berbauat baik, si rajah itu yang melaksanakan.
Yan pada gingnta katelum ikang
sattwa, rajah, tamah, ya ta matangnyan pangjadma manusia, apaan pada wineh
kahyunya”
(Wraspati tatwa, 22)
Artinya :
Apabila sama besarnya ketiga Guna,
Sattwan, Rajah, dan Tamah itu, itulah yang menyebabkan penjelmaan manusia
karena sama memberikan kehendaknya / keinginannya.
“Yapwan citta si rajah magong,
kridha kewala, sakti pwa ting gawe hela, tat a getening Atma tibeng naraka”
(Wrhspati tattwa, 23)
Artinya :
Apabila citta si rajah besar, hanya
marah kuat pada perbuatan jahat, itulah yang menyebabkan jatuh ke neraca.
Berdasarkan sloka tersebut di atas
maka jelaskah yang menyebabkan adanya perbedaan kelahiranitu adalah Tri Guna
(sattwam, rajah, dan tamah) karena lahir dari Tri Guna dan dari karma muncul
suka duka.
Demikianlah penjelasan beberapa
sloka kita Wrhaspati tattwa, yang pada dasarnya menyatakan bahwa Tri Guna ada
pada setiap prnag hanya saja dalam ukuran yang berbeda-beda. Orang yang lebih
banyak dipengaruhi oleh guna sattwam, maka ia menjadi orang yang bijaksana,
berpikiran terang dan tenang. Sifat kasih sayang, lemah lembut, lurus hati juga
merupakan sifat sattwam. Jika guna rajah lebih banyak mempengaruhi seseorang
maka orang tersebut menjadi tangkas, keras, rajin dan penuh usaha. Sifat
congkak dan iri, bengis merupakan sifat-sifat rajah. Namun bila guna tamaha
lebih banyak berpengaruh pada diri seseorang maka orang tersebut menjadi lamba,
malas dan bodoh. Sifat-sifat doyan makan, mengumbar hawa nafsu juga termasuk
sifat-sifat tamah. Di dunia ini tak seorang pun yang luput dari Tri Guna.
Ketiga Guna tersebut merupakan satu kesatyan yang bekerja sama dalam kekuatan
yang berbeda-beda. Perpisahan diantara tiga guna itu tidak mungkin terjadi
karena dengan demikian tidak akan ada suatu gerak apapun pada manusia. Dan
pengaruh Tri Guna tersebut maka sifat-sifat orang itu ada yang digolongkan sifat-sifat
yang baik dan ada yang buruk.
Seperti telah dijelaskan di atas
bahwa Tri Guna pada hakekatnya merupakan bagian dari prakerti/predhana, sebagai
asas kebedaan. Bila Purusa bertemu dengan Prakerti maka Tri Guna mulai aktif
dan ingin saling menguasai. Apabila kekuatan sattwam menngunguli rajah dan
tamah, maka Atma mencapai moksa / kelepasan. Bila sattwam dan rajah sama
kuatnya, maka Atma mencapai sorga. Jika kekuatan sattwam, rajah dan Tamah
berimbang, maka menjelmalah Atma sebagai manusia. Jika sifat rajah yang lebih
unggul dari sattwam, Rajah dan Tamah berimbang, maka menjelmalah Atma sebagai
manusia. Jika sifat rajah yang lebih unggul dari Sattwam dan Tamah, menyebabkan
Atma jatuh ke alam neraca . Apabila sifat tamah yang lebih unggul dari Sattwam dan
rajah , maka Atma menjelma menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Dari penjelasan tersebut, kita
mempunyai pengetahuan bahwa Tri Guna sangat berpengagruh terhadap
baik-buruknyakehdiupan manusia. Manusia hendaknya mampu mengendalikan Tri
Guna ini dengan baik, menggunakan sattwam sebagai pengendali, sehingga Tri Guna
akan memebirkan manfaat pada diri manusia. Kendalikanlah guna rajah dan tamah
ke arah Sattwam, karena bilatamah membesar pada citta kita maka kana
menyebabkan Atma mengalami kemerosostan dan menjelma menjadi binatang. Sungguh
hal yang kita hindari.
2.7. PENGERTIAN DAN
BAGIAN-BAGIAN CATUR WARNA , CATUR ASRAMA DAN CATUR PURUSARTHA.
- A.
Catur Warna
Kata Catur Warna berasal dari bahasa
sanskerta dari akar kata Vr yang berarti pilihan. Catur warna berarti
empat pilihan bagi setiap orang terhadap profesi yang cocok untuk pribadinya
masing-masing. Sistem kemasyarakatan Agama Hindu “Catur Warna” yang di dalam
sejarah perkembangannya mengalami bintik-bintik hitam. Bintik-bintik hitam itu
dapat meracuni tata kemasyarakatan Hindu “Catur Warna”, dimana asal-usulnya
bukanlah dimaksudkan demikian. Hal ini merupakan persoalan yang mesti dihadapi
oleh masyarakat Hindu secara umum sebagai suatu struktur tetap dari masyarakat Hindu.
Dalam kehidupan individu “Warna” adalah amat penting karena dapat pula
merangsang hidup manusia untuk berbuat baik atau jahat. Prilaku jahat sebagai
akibat tidak langsung yang dapat ditimbulkan setiap saat. Warna “Catur Warna”
memiliki manfaat sangat strategis dalam upaya meningkatkan professional umat
Hindu.
Kata “Catur Warna” dalam ajaran
Agama Hindu berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata “Catur dan Warna”. Catur
berarti empat dan Warna berarti tutup, penutup, warna, bagian luar, jenis,
watak, bentuk, kasta. Catur Warna berarti empat pengelompokkan masyarakat dalam
tata kemasyarakatan agama Hindu yang ditentukan berdasarkan profesinya.
Pemahaman tentang “Catur Warna” dapat dirumuskan berdasarkan sastra drstha.
Yang dimaksud pemahaman “Catur
Warna” berdasarkan sastra drstha adalah pemahaman yang bertujuan untuk
mendapatkan pengertian tentang catur warna menurut rumusan kitab suci, seperti
:
“Caturvarnyammaya srstam, gunakarma
vibhagasab, tasya kartaram apimam, viddhy akartaram avyayam” (Bhagawan Gita
IV.13)
Artinya :
“Catur Warna aku ciptakan menurut
pembagian dari guna dan karma (sifat dan pekerjaan). Meskipun aku sebagai
penciptanya, ketahuilah aku mengatasi gerak dan perubahan.
Demikianlah kitab suci menyebutkan
bahwa konsepsi tentang “Catur warna” diciptakan oleh Sang Hyang Paramakawi.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa setiap orang yang lahir ke dunia ini
sudah barang tentu memiliki dan membawa keahliannya masing-masing. Oleh karena
itu diantara kita hendaknya mau dan mampu belajar untuk mengakui kemampuan dan
professional ciptaan beliau secara jujur dan bertanggung jawab.
Hindarkanlah diri kita masing-masing untuk mendiskriditkan sesame kita. Mengapa
demikian dan yang manakah bagian-bagian dari “Catur Warna” itu?
- B. Bagian-bagian Catur Warna
Untuk dapat menjadi manusia yang
baik, manusia hendaknya selalu mengadakan kerjasama yang harmonis dengan sesame
mahluk ciptaan-Nya. Manusia itu hendaknya selalu merealisasikan ajaran Tat Twam
Asi, Maha Kekal, tanpa awal dan akhir yang sering disebut “Wiyapi-wiyapaka
nirwikara”. Wiyapa-wiyapaka berarti meresap, mengatasi, berada disegala tempat
(semua mahluk) terutama pada manusia. Kriya (karya) saktinya Tuhan, yang paling
utama adalah mencipta, memelihara dan melebur alam semesta ini beserta segala
isinya termasuk manusia. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Percikan Tuhan yang ada
dalam tubuh manusia disebut atman atau jiwatman. Didalam kitab upanisad
disebutkan “Brahman atman aikyam” yang artinya Brahman (Tuhan) dengan atman
adalah tunggal adanya.
Kitab Candogya Upanisad menyebutkan
“Tat Twam Asi”. Kata tak berarti itu atau dia, Twam berarti engkau, dan Asi
berari adalah/juga. Jadi Tat Twam Asi berarti dia atau itu adalah engkau juga.
Didalam filsafat Hindu, dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesuilaan
yang tanpa batas, yang identik dengan “prikemanusiaan” dalam Pancasila.
Konsepsi sila prikemanusiaan dalam Pancasila, bila kita cermati secara
sungguh-sungguh adalah merupakan realisasi ajaran tattwamasi yang terdapat
dalam kitab suci Weda. Dengan demikian dapat dikatakan mengerti dan memahami,
serta mengamalkan, melaksanakan Pancasila berarti telah melaksanakan ajaran
Weda. Karena maksud yang terkandung didalam ajaran Tattwamasi ini “ia adalah
kamu, saya adalah kamu, dan semua mahkluk adalah sama” sehingga bila kita
menolong orang lain berarti juga menolong diri kita sendiri. Disini ia dapat
melaksanakan tugasnya dengan rasa cinta dan keihklasan sesuai dengan ajaran
agama Hindu.
“Brahmanaksatriyavisam, sudranam ca
paramtapa, karmani pravibhaktani, svabhava prabhavair gunaih
(Bhagawad Gita XVIII.41)
Artinya :
“Oh, Arjuna tugas-tugas adalah
terbagi menurut sifat dan watak kelahirannya sebagai halnya Brahmana, Ksatria,
Vaisya, dan juga Sudra.
Pengelompokkan masyarakat menjadi
empat kelas ini sebenarnya bukan saja hanya terdapat pada Hindu saja, tetapi
bersifat universal. Klasifikasi tergantung dari tipe alam, bakat kelahiran
manusia. Setiap kelompok dari empat kelas ini mempunyai karakter tertentu. Ini
tidak selalu ditentukan oleh keturunan, sebagai mana dijelaskan dalam kitab Bhagawad
Gita. Teori warna adalah sangat luas dan mendalam. Tiap-tiap individu
adalah fokus dari yang maha tinggi. Selama manusia melakukan pekerjaan
sesuai dengan alam kelahirannya, itu adalah baik dan benar. Dan bila mereka
hanya mengabdikan diri kepada Tuhan, pekerjaannya adalah menjadi alat
penyempurna dari jiwanya.
Problem dari kehidupan manusia pada
dasarnya adalah menemui kebenaran dari jiwa kita dan lalu hidup menurut
kebenaran itu. Ada empat tipe pada garis besarnya kehidupan manusia itu, yakni
dengan mengembangkan empat macam kehidupan sosial. Keempat kelas ini tidak
ditentukan oleh kelahiran akan tetapi karakteristik psykhologis. Yang manakah
bagian-bagian dari catur warna tersebut?
Untuk lebih memudahkan kita memahami
tentang keberadaan “Catur Warna” ke empat bagian yang dimaksud adalah :
- 1. Brahmana Warna
- 2. Ksatrya Warna
- 3. Wesya Warna
- 4. Sudra Warna
Masing-masing bagian dari Catur
Warna tersebut diatas dapat dijelaskan secara singkat seperti di bawah ini :
- Brahmana Warna adalah
individu atau golongan masyarakat yang berkecimbung dalam bidang
kerohanian. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan,
melainkan karena ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk
menjalankan tugas itu. Seseorang disebut Brahmana karena ia memiliki
kelebihan dalam bidang kerohanian.
- Kesatrya Warna ialah
individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian dibidang memimpin
bangsa dan Negara. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas
keturunan, melainkan karena ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki
kemampuan untuk menjalankan tugas itu. Seseorang disebut kesatrya karena
ia memiliki kelebihan dalam bidang kepemimpinan.
- Wesya Warna adalah
individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian dibidang
pertanian dan perdagangan. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas
keturunan, melainkan karena ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki
kemampuan untuk menjalankan tugas-tugas untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Seseorang disebut wesya karena ia memiliki kelebihan dalam
bidang pertanian dan perdagangan.
- Sudra Warna ialah
individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian dibidang
pelayanan atau membantu. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas
keturunan, melainkan karena ia memiliki kemampuan tenaga yang kuat dan
mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan tugas-tugas untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Seseorang disebut sudra karena ia memiliki kelebihan
dalam bidang pelayanan.
Berdasarkan uraian singkat tersebut
dapat dinyatakan bahwa yang disebut Catur Warna adalah
mengelompokkan masyarakat guna dan bakat. Penggolongan masyarakat ini
didasarkan atas fungsional, oleh karena pembagian golongan ini didasarkan atas
tugas, kewajiban, dan fungsinya di dalam masyarakat. Penggolongan ini bukan
bersifat turun-temurun. Adanya penggolongan ini merupakan suatu kenyataan dan
kebutuhan dalam masyarakat.
Sistem warna tidak sama dengankasta,
sebab agama Hindu mengutamakan ajaran Tat Twam Asi dalam memupuk pergaulan dan
kerjasama dalam masyarakat. Jadi semuanya itu berdasarkan sifat dan sikap
saling hormat-menghormati untuk meningkatkan sikap kemanusiaan yang agamis.
Siapa saja diantara umat kebanyakan akan dapat menjadi “Brahmana, Kesatrya,
Wesya, dan Sudra” bila memiliki kemauan dan kemampuan untuk itu. Tinggi
rendahnya kedudukan seseorang di dalam masyarakat tidak ditentukan oleh
keturunannya, melainkan oleh kemampuannya untuk menjalankan suatu tugas.
- C. Catur Asrama
Kata Catur Asrama berasal
dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Catur dan Asrama. Catur yang
berarti empat dan kata Asrama berarti tempat atau lapangan
“Kerohanian”. Kata “Asrama” sering juga dikaitkan dengan jenjang kehidupan.
Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur, dan sifat
prilaku manusia.
Susunan tatanan itu mendukung atas
perkembangan rohani seseorang. Perkembangan rohani berproses mulai dari bayi,
muda, dewasa, tua, dan mekar. Kemudian berkembang menjadi rohani yang mantap
mengalami ketenangan dan berkeseimbangan. Jadi Catur Asrama berarti empat
jenjang kehidupan yang berlandaskan petunjuk kerohanian Hindu.
Adanya empat jenjang kehidupan dalam
ajaran agama Hindu dengan jelas bahwa hidup itu di program menjadi empat fase
dalam kurun waktu tertentu. Tegasnya dalam satu lintasan hidup diharapkan
manusia mempunyai tatanan hidup melalui empat tahap program itu, dengan
menunjukkan hasil yang sempurna. Dalam fase pertama, kedua, ketiga dan ke empat
rumusan tatanan hidup dipolakan. Sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya
orang yang berada dalam fase pertama dan tidak boleh atau kurang tepat menuruti
tatanan hidup dalam fase yang kedua, ketiga ataupun ke empat. Demikian
seterusnya diantara satu fase hidup dengan kehidupan berikutnya. Bilamana hal
itu terjadi dan diikuti secara tekun maka kerahayuan hidup akan tidak sulit
tercapai. Bilamana dilanggar tentu yang bersangkutan akan mendapatkan
pengalaman sebaliknya. Jadi untuk memudahkan menuju tujuan hidup maka agama
Hindu mengajarkan dan mencanangkan empat jenjang tatanan kehidupan ini.
Masing-masing jenjang itu, memiliki warna tersendiri dan semua jenjang itu
mesti dilewati hingga akhir hayat dikandung badan. Setelah itu diharapkan Atma
menjadi bersatu dengan sumbernya yaitu Parama Atma.
- D. Bagian-bagian Catur Asrama
Naskah Jawa Kuno yang diberi nama Agastya
Parwa menguraikan tentang bagian-bagian Catur Asrama. Dalam kitab Silakrama
itu dijelaskan sebagai berikut :
“Catur Asrama ngaranya Brahmacari,
Grhastha, Wanaprastha, Bhiksuka, Nahan tang Catur Asrama ngaranya”.
(Silakrama hal 8).
Artinya :
Yang bernama Catur Asrama ialah
Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, dan Bhiksuka.
Berdasarkan uraian dari Agastya
Parwa itu menjadi sangat jelaslah pembagian Catur Asrama itu. Catur asrama
ialah empat fase pengasraman berdasarkan petunjuk kerohanian. Dari ke empat
pengasramaan itu diharapkan mampu menjadi tatanan hidup umat manusia secara
berjenjang. Masing-masing tatanan dalam tiap jenjang menunjukkan proses menuju
ketenangan rohani. Sehingga diharapkan tatanan rohani pada jenjang Moksa
sebagai akhir pengasramaan dapat dicapai atau dilaksanakan oleh setiap umat.
Adapun pembagian dari Catur Asrama itu terdiri dari unsur –unsur sebagai
berikut :
- Brahmacari Asrama
- Grhastha Asrama.
- Wanaprastha Asrama.
- Bhiksuka “Sanyasin” Asrama.
Masing-masing jenjang dari memiliki
kurun waktu tertentu untuk melaksanakannya. Pelaksanaan jenjang perjenjang ini
hendaknya dapat dipahami dan dipandang sebagai kewajiban moral dalam hidup dan
dan kehidupan ini. Dengan demikian betapapun beratnya permasalahan yang
dihadapi dari masing-masing fase kehidupan itu tidak akan pernah dikeluhkan
oleh pelakunya. Idialnya memang seperti itu, tidak ada sesuatu “permasalahan”
yang patut kita keluhkan. Keluh-kesah yang kita simpan dan menguasai sang
pribadi kita tidak akan pernah membantu secara ikhlas untuk mendapatkan jalan
keluar dari permasalahan yang ada. Bila kita hanya mampu mengeluh tentu akan
menambah beban yang lebih berat lagi. Hindu sebagai agama telah menggariskan
kepada umatnya untuk tidak hanya biasa dan kaya mengeluh. Renungkanlah sloka
suci berikut ini :
“Niyatam kuru karma tvam, karma
jyayo hy akarmanah, sarirayatra pi cha ten a prasidheyed akarmanah
(Bhagawadgita III.8.42).
Artinya :
Lakukan pekerjaan yang diberikan
padamu karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya daripada tidak
melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin
jika engkau tidak bekerja.
“Yajnarthat karmamo nyatra, loko yam
karma bandhanah, tadartham karma kaunteya, muktasangah samachara
(Bhagawadgita III.9.43).
Artinya :
Kecuali pekerjaan yang dilakukan
sebagai dan untuk yadnya dunia ini juga terikat oleh Hukum Karma. Oleh
karenanya, O Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai Yadnya, bebaskan dari semua
ikatan.
Demikainlah Sri Bhagawan Kresna
menjelaskan agar kita melakukan pekerjaan yang telah diwajibkan dengan benar
dan tanpa terikat akan hasilnya. Tujuannya tiada lain adalah agar semua karma
atau perbuatan yang kita lakukan diubah menjadi yoga, sehingga kegiatan itu
dapat membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Bila seseorang melakukan perbuatan
dengan kesadaran badan, yaitu bila mereka menyamakan dirinya sebagai manusia
yang berbuat, maka perbuatannya itu tidak akan menjadi Karma Yoga. Setiap
perbuatan yang dilakukan dengan perasaan mementingkan dirinya sendiri, dengan
rasa keterikatan, yaitu merasa perbuatannya, maka semua perbuatan semacam itu
akan mengakibatkan kesedihan. Sehubungan dengan itu, renungkan sloka berikut :
“Na buddhi bhedam janayed, ajananam
karmasanginam, joshayet sarva karmani, vidvam yuktah samacharan” (Bhagawadgit
III.26.50)
Artinya :
Orang yang pandai seharusnya jangan
menggoncangkan pikiran orang yang bodoh yang terikat pada pekerjaanya. Orang
yang bijaksana melakukan semua pekerjaan dalam jiwa yoga, harus menyebabkan
orang lain juga bekerja.
Bekerjalah “Karma” untuk dapat
mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini sebagai mana dijelaskan
dalam ajaran Catur Purusa Artha. Hanya dengan melakukan kewajiban Karma seseorang
akan terbebas dari semua masalah yang dihadapinya. Apakah Catur Purusa Artha
itu?
- E. Catur Purusa Artha
Di dalam ajaran agama Hindu terdapat
suatu prinsip ajaran yang berbunyi “Moksa artham jagadhita yaca iti dharma”
yang berarti tujuan umat manusia beragama adalah untuk mencapai “Jagadhita”
atau sejaktera dan “Moksa” atau kebahagiaan. Jagadhita adalah tercapainya
kesejahteraan jasmani, sedangkan Moksa adalah terwujudnya ketentraman bathin,
kehidupan abadi yakni manunggalnya Sang Hyang Atma (roh) dengan Sang
Hyang Widhi Wasa. Kitab Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut :
“Yatnah kamarthamoksanam krtopi hi
wipadyate, dharmamaya punararambhah sankalpopi na nisphalah. Ikang kayatnan ri
kagawayaning kama, artha, mwang moksa, dadi ika tanpa phala, kunang ikang
kayatnan ring dharmasadhana, niyata maphala ika, yadya pin angenangen juga,
maphala atika”
(sarasamuscaya, 15).
Artinya :
Supaya diperhatikan dengan
diingat-ingat dalam mengusahakan Kama, Artha dan Moksa, sebab tidak ada
pahalanya. Adapun yang harus diusahakan dengan jalan dharma, tujuan itu pasti
tercapai, walaupun hanya dalam angan-angan saja akhirnya akan berhasil.
Memperhatikan sloka di atas,
jelaslah bahwa “Moksa Artha jagadhita ya ca iti dharma” adalah merupakan ajaran
tentang tujuan hidup umat manusia. Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan dalam
konsepsi “Catur Purusa Artha” atau sering juga disebut dengan istilah “Catur
Warga”. Jadi kata “Catur Purusa Artha” atau “Catur Warga” dapat diartikan;
Catur berarti empat, Purusa berarti jiwa atau manusia, dan Artha berarti tujuan
hidup. Catur Purusa Artha berarti empat tujuan hidup manusia yang utama.
Sedangkan Catur Warga, yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan Warga
berarti jalinan erat atau golongan. Catur Warga berarti empat tujuan hidup umat
manusia yang utama yang terjalin erat antara yang satu dengan yang lainnya.
Demikianlah ajaran ini sudah
sepatutnya untuk selalu dipedomani dalam pengabdian hidup ini. Bila kita tidak
ingin mendapatkan tantangan yang lebih berat lagi, kenapa harus menunggu lebih
lama lagi. Tidak ada waktu terlambat untuk belajar memulai membiasakan diri
berbuat baik. Bukanlah beliau bersifat maha pemaaf, maha pemurah, maha
pelindung dan maha kasih? Pahami, pedomani dan wujudkanlah dalam setiap langkah
hidup kita ini dengan bagian-bagian dari ajaran Catur Purusa Artha sebagai
satu kesatuan yang utuh. Yang manakah bagian-bagiannya?
- F. Bagian-bagian Catur Purusa
Artha
Ajaran Catur Purusa Artha merupakan
modal dasar umat Hindu berupaya untuk mewujudkan tujuannya beragama. Tujuan
dari pada umat beragama patut dipedomani dengan ajaran “Catur Purusa Artha”.
Dengan demikian maka cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan hidup jasmani dan
kebahagiaan hidup rohaninya dengan sendirinya akan tercapai. Mencapai kebahagiaan
jasmani atau kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (kebahagiaan yang
kekal) hendaknya dijadikan komitmen dalam hidup ini. Tujuan ini disebut dengan
“Moksa Artha jagadhita ya ca iti dharma”. Ajaran tentang Catur Purusa Artha
adalah merupakan ajaran yang bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman.
Banyak inteprestasi tentang ajaran tersebut akan ditemukan namun hakekat
ajarannya akan tetap sama. Apakah yang dimaksud dengan Catur Purusa Artha?
Di dalam Kitab Brahma Purana
mengenai Catur Purusa Artha ada disebutkan sebagai berikut :
“Dharmartha kama moksaran
sariram-sadhanam” (Brahman Purana 228,45).
Artinya :
Tubuh adalah alat (untuk mendapat)
Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Selanjutnya dalam kitab Astha Dasa
Parwa pada bagian Udyoga Parwa kita temukan ajaran yang berkaitan dengan
hakekat dharma, sebagai berikut :
“Ikang dharma ngaranya, hetuning
mara ring swarga ika, kadi gatining perahu, an hetuning banyaga nertasing tasik
(Udyoga Parwa).
Artinya :
Yang disebut Dharma, adalah
merupakan jalan untuk pergi ke surge, sebagai halnya perahu, sesungguhnya
adalah merupakan alat bagi pedagang dalam mengarungi lautan.
Kutipan di atas menjelaskan kepada
kita bahwa manusia harus menyadari apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apa yang
harus dicarinya dengan badan yang dimilikinya. Semuanya itu tak lain adalah
sebagai pengalaman dari ajaran dharma sebagai salah satu bagian dari ajaran
Catur Purusa Artha. Yang manakah bagian-bagian dari ajaran catur Purusa Artha
itu?
Sesuai dengan beberapa penjelasan
tersebut diatas yang termasuk bagian-bagian dari Catur Purusa Artha antara lain
:
- Dharma
- Artha.
- Kama.
- Moksa
Penjelasan lebih lanjut tentang
bagian-bagian ajaran catur Purusa Artha, secara singkat dapat diikuti pada
uraian hubungan Catur Asrama dengan Catur Purusa Artha sebagaimana terurai
berikutnya setelah uraian singkat darihubungan catur Warna dengan Catur Asrama
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa kami rangkum
adalah:
- Susila berasal dari kata “su” dan “sila”. Su adalah
awalan yang berarti amat baik, atau sangat baik, mulia, dan indah.
Sedangkan kata sila berarti tingkah laku atau kelakuan. Susila adalah
tingkah laku atau kelakuan yang baik atau mulia yang harus menjadi pedoman
hidup manusia.
- Beberapa ajaran Agama Hindu yang berhubungan dengan
susila adalah . Susila Sad Atatayi, Etika, Triguna dan dasa mala ,Catur
Warna , Catur Asrama Dan Catur Purusartha.
- Contoh-contoh beberapa perbuatan susila adalah
memberikan sedekah, memberi pelajaran dan nasihat-nasihat kepada
orang-orang miskin, memberikan pertolongan kepada orang lain, melaksanakan
ajaran Tri Kaya Parisudha.
3.2
Saran-saran
Saran yang dapat kami berikan adalah
dalam kehidupan sehari-hari kita sangat perlu melaksanakan susila itu, dengan
melaksanakan ajaran susila akan dapat memberikan manfaat yang bagus dikehidupan
kita. Pahami dan laksanakan ajaran susila tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Genetri Untuk Siswa Sma / Smk Kls X
Semester 1
Genetri Untuk Siswa Sma / Smk Kls X
Semester 2
Lembar Kerja Siswa Pendidikan Agama
Hindu Sms/Smk Kls Xi Semester 1 Provinsi Bali
Lembar Kerja Siswa Pendidikan Agama
Hindu Sms/Smk Kls X Semester 1 Provinsi Bali
Lembar Kerja Siswa Pendidikan Agama
Hindu Sms/Smk Kls X Semester 2 Provinsi Bali
Lembar Kerja Siswa Pendidikan Agama
Hindu Sms/Smk Kls Xi Semester 2 Provinsi Bali
Lembar Kerja Siswa Pendidikan Agama
Hindu Sms/Smk Kls X Smt 2 Kabupaten Buleleng
Lembar Kerja Siswa Pendidikan Agama
Hindu Sms/Smk Kls X Smt 1 Kabupaten Buleleng
Ayounajuz.Blogspot.Com/2009/06/Susila.Html
Belajaragamahindu.Wordpress.Com/…/Akibat-Tri-Guna-Dan-Dasa-Mala/